By Ila Abdulrahman
Meski tidak selincah dulu, namun Karin masih nampak gesit mengendarai Beatnya. Setengah Jam
sebelum kereta berangkat. Karina sampai di Stasiun Balapan. Dhana sudah menunggu di
pintu masuk. Ia tegarkan niat, ia hela nafas panjang. Dengan tekad yang
tersisa, Karina memberanikan diri kembali menelusuri jejak keberadaan Wira
Atmaja. Bukan untuk merajut kisah yang telah berakhir, namun, untuk mencari
ayah anak-anaknya. Bahwa mereka punya ayah, bapak, seperti anak lain pada
umumnya. Bahkan seorang ayah yang patut di banggakan. Sahabatnya Dhana bersedia menemaninya, sekalian mencari
kelengkapan refensi tulisannya ke Kodam Siliwangi.
“Hufhhh…Bismillah, semua akan baik-baik saja.
Jejaknya berawal dan berakhir di Bandung. Jadi, dari sana aku harus memulai.”
Ia kuatkan tekad dan keyakinannya.
“Kenapa Rin?” tanya Dhana.
“Enggak, gak apa-apa Na.”jawabnya dengan lembut
menenangkan hati sahabatnya.
Kelas Bisnis Lodya yang Karina pilih, satu
kursi dengan seorang ibu yang hendak mengunjungi suaminya yang bekerja di Bandung
dan hanya pulang sebulan sekali, sehingga si ibu ini mengalah datang ke Bandung
tiap akhir pekan. Dhana duduk sendiri di depannya.
Suami ibu ini bekerja sebagai Kepala cabang
Bank Bumiputera Bandung. Karina
berbincang sebentar dengan ibu yang terlihat serius membaca buku tentang
kematian karya Imam Al-ghazali itu. Tak ingin mengganggu Karina pun
menghentikan obrolan ringannya itu, hanya sekedar menyapa teman seperjalanan.
Karina dan Dhana segera larut dengan pikiran
masing-masing. Sejam perjalanan berlalu, Stasiun Klaten masih seperti yang
dulu, pikiran Karina melayang ketika ia bersama anaknya tiba dari Bandung dalam
pelarian penyelamatan dirinya, anak-anak dan kehidupannya. Ketika sang mantan
suami harus berkorban dan mempertaruhkan nama baik seluruh keluarga dengan
bersedia menjadi umpan untuk mengeluarkan predator yang mengancam setiap jiwa.
Siapa yang bisa menolak jika jebakan sudah di pasang, dan Wira terlibat di dalamnya
tanpa ia ketahui. Sebegitu kotornya jebakan itu di pasang, seolah-olah semua
benar-benar terjadi, hingga Wira terpaksa harus mau dan bersedia melakukan hal
di luar perkiraannya tersebut daripada keluarganya terancam.
Booming Facebook melanda siapa saja. Tak
terkecuali, keluarga MG dan Wanda, bahkan anak semata wayangnya yang masih
duduk di bangku SD kelas 4 pun tak luput
dari jerat daya tarik FB yang luar biasa itu. Wanda yang dalam hubungan rumah tangganya
kacau menemukan seseorang di FB, berkenalan dan menikahlah mereka. Wanda dan Wira
menikah dalam upacara yang sederhana bahkan terkesan terpaksa.
Wira terpaksa menikahi Wanda, atas perintah
kesatuan untuk mencari tahu tentang mantan suami Wanda Mugiyono alias MG.
Penyusupan ke dalam organisasi MG tidak pernah membuahkan hasil, bahkan selalu memakan
korban. Kesatuannya yang membuat akun FB atas namanya dan menjerat Wanda.
Hingga jerat itu berhasil menangkap korbannya, Wira ditugaskan meneruskannya. Pilihan yang ia
miliki hanya 2, menikah dengan Wanda atau menikah dengan Wanda, hanya satu opsi
meski dua pilihan. Andai ada pilihan mundur, Wira tentu akan memilihnya, namun
tidak jika dengan mundur akibatnya adalah keselamatan keluarganya.
Bagaimana ia harus menyampaikan hal ini kepada
istri tersayangnya. Apa ia akan mengerti? Bagaimana dengan kedua anaknya? Batin
Wira bergolak, perang batin antara tugas dan perasaan, antara hidup dan mati.
Pikiran normalnya mengarahkan ia untuk memilih hidup, yang artinya menikahi Wanda.
Toh setelah semua selesai, ia bisa menceraikan Wanda.
Sudah hampir sebulan ini setiap sampai di
rumah, beberapa kali Wira hendak mengungkapkan semuanya namun, ada rasa berat
yang menghalanginya, apalagi ketika memandangi putra putrinya tidur lelap.
Sepertinya ia yang kini menjadi penjahat, harus melukai keluarganya. Wira tidak
akan membiarkan hal ini menghancurkan keluarganya, Karina pasti bisa mengerti
dan akan mendukung langkahnya, seperti yang selama ini ia lakukan. “Tidak akan
ku biarkan ini menghancurkan keluargaku, anak-anakku dan semua impian yang
sudah ku bangun selama ini.
Karina bukan tidak sadar ada yang mengganggu
jiwa suaminya, ia membaca ada keresahan yang berusaha di simpan. Akhirnya
dengan suara bergetar, Wira menyampaikan semuanya, dan dengan tegas ia akan menuruti
saran dari istri tercintanya, andaikanpun harus keluar dari kesatuannya. Namun,
semua di luar dugaan Wira, istrinya mengijinkan
dirinya menikahi Wanda dengan syarat ia di ceraikan dan bersedia kembali
jika ia telah menceraikan Wanda, dan selama itu pula, Karina akan hidup bersama
orang tuanya.
Entah, harus bahagia atau bersedih dengan semua
keputusan yang di ajukan Istrinya. Akhirnya, pada pertengahan 2005 merekapun
bercerai dan Wira menikahi Wanda. Pernikahan mereka tidak menghasilkan keturunan.
Apa yang di cari oleh Wira sudah dia dapatkan, Markas pun bersiap menceraikan Wira
dan Wanda, Jebakan kedua di pasang, FB Wira yang berteman dengan Shamila anak
tirinya, dalam inbok Shamila di kirim ajaran paling sesat yang tidak pantas di
kirimkan kepada anak seusia Shamila. Dalam inbok itu FB Wira mengajarkan
bagaimana cara berjimak layaknya suami istri lengkap dengan gambar. Sungguh,
jebakan yang luar biasa tidak manusiawi.
Shamila berteriak kepada ibunya, “Ma, aku ga
bisa buka FB ku, sepertinya Passwordnya berubah.”
“Oh iya sayang, Mama yang rutin menggantinya.
Nanti mama bukain, mama lupa juga passwordnya apa.” Kata Wanda. Allah maha
besar, mungkin itulah bentuk penyelamatan atas jiwa suci seorang anak.
Sore itu pertengahan 2006, hujan rintik membasahi
halaman rumput rumah Wanda. Dengan tatapan penuh amarah dan nanar, ia tidak
percaya dengan apa yang terpampang di depannya. Inbok Shamila membuat jantungnya berdegup kencang
tak teratur, amarahnya memuncak memenuhi otaknya, airmatanya mengalir tak terbendung,
ia melihat kehancuran hidup putri semata wayangnya.
Sejenak ia menoleh kepada Shamila yang sedang
terlelap dalam buaian rintik hujan, wajah tak berdosa itu tidak ia percaya
telah hancur masa depannya. Shamila terbangun mendengar tangisan ibunya.
Wanda memeluk putrinya dengan erat. “Mira,
maafkan ibu nak, ibu tidak bisa menjagamu dari bapak tirimu.”
“Ada apa bu, bapak sangat baik kepadaku, hanya
bapak sangat ketat terhadap penggunaan internet bu.” Shamila tidak mengerti apa
yang di katakan ibunya. Ia nampak biasa saja,layaknya anak-anak lain yang tidak
terimpa masalah. Namun ia hanya mengangguk saja.
Wanda tidak ingin menanyakan kepada buah
hatinya tentang inbok itu,ia tidak ingin anaknya terluka dan iapun segera
mengganti ulang password dan username yang tidak memungkinkan Shamila
membukanya.
Malam itu juga Wandha bergegas ke Makodam
Siliwangi, sambil membawa bukti print out inbok tersebut. Rupanya
kedatangannya sudah di tunggu, oleh beberapa staff makodam termasuk Pangdam
sendiri, nampak suaminya Wira duduk lemas. Hatinya menjerit, rasanya ingin ia
membunuh Wira saat itu juga.
Hati Wira sakit tak terkira, ia tidak menyangka
jebakan nista itu yang akan menjadi skenario perceraiannya. Nama baiknya hancur sudah, satu hal yang harus
memberatkannya, menjelaskan semua itu kepada Karina istri tercintanya.
Perjuangan Wanda malam itu menghasilkan
kesepakatan perceraian antara dirinya dan Wira, sedangkan keinginannya
mengajukan Wira ke Pengadilan militer
tidak mendapat tanggapan dan cenderung di sarankan untuk mengakhiri dan
membekukan masalah tersebut dan menyelesaikan dengan cara kekeluargaan, karena
ini menyangkut nama baik dan masa depan kedua belah pihak. Otak Wanda penuh
pertanyaan, ia merasakan ada ketidak beresan dalam masalah tersebut. Ia
memutuskan menempuh jalur lain.
Pagi-pagi
kediaman Wanda ramai oleh kerumunan
wartawan, Wanda menelepon bebrapa media tentang kasusuyang menimpanya.
Gempar, Bandung geger. Berita pencabulan itu menjadi headline media elektronik
dan cetak nasional. Satu hal yang luput dari perhitungannya adalah bahwa apa
yang dia lakukan tidak menyelesaikan masalah, malah membuat nama baik Shamila
tercemar, hal yang sudah di peringatkan oleh Pangdam Siliwangi. Namun nasi
sudah menjadi bubur, semua sudah terlanjur, ia hanya bisa pasrah menerima
keadaan, termasuk amarah yang luar biasa dari balik jeruji Salemba.
Wira pulang dengan langkah gontai, hatinya
penuh gejolak, siapa aku, pahlawan, atau penjahat? Sepertinya aku lebih pantas
di sebut penjahat. Dalam perjalanan ia singgah di rumah yang dulu ia tempati
dengan bahagia bersama Karina dan kedua buah hatinya. Senyum menghiasi
bibirnya, namun ada bulir-bulir air mengalir dengan tangan mengepal menahan
amarah. Sesaat kemudian ia laju mobilnya menuju rumah mertuanya, menemui Karina
dan anak-anaknya.
Malam sudah agak larut ketika Wira sampai ke
lembang di kediaman mertuanya. Karina keluar di temani kedua orang tuanya.
Namun Wira meminta ijin untuk berbicara berdua dengan Karina. Dengan rasa
bersalah yang sangat mendalam ia ceritakan apa yang terjadi kepada Karina.
Karina menghela nafas panjang, dinginnya hawa
Lembang tidak mampu mendinginkan hatinya yang juga di landa amarah. Dua
keluarga hancur lebur dengan alasan untuk kepentingan yang lebih besar. Sebesar
itukah mereka harus berkorban? Jika iya, semoga hasilnya sebanding dengan
kehancuran dua keluarga ini. Akhirnya demi keamanan dan keselamatan jiwa dan
psikis semuanya, Karina dan kedua anaknya di haruskan mengungsi dan
menyembunyikan diri sampai keadaan sudah terkendali dan sang harimau sudah berhasil di kandangkan.
Dengan alasan ingin mencari hawa baru Karina meminta ijin kepada orang tuanya untuk pindah
tempat tingal dan memohon agar kepindahanya di rahasiakan. Hanya kepada
ayahnya, bapak Atmadja Karina menceritakan yang sebenarnya. Atas permintaan
ayahnya, Tiara, adik Karina diminta di ijinkan untuk menemaninya.
Bombardir berita di media itu mengharuskan Karina
mempercepat kepindahannya, mengasingkan diri dengan identitas baru,
keberadaanya akan di jaga dalam pengawasan ketat demi keselamatan seluruh
keluarganya. Dan Wirapun di haruskan mengikuti jejak Karina, menghilang, lenyap
tanpa bekas, yang menggugah amarah auman harimau yang sedang tertidur pulas.
Jauhnya laungan kenangan kejadian itu
sepertinya baru saja terjadi. Kereta Lodaya itu telah sampai di stasiun
Tasikmalaya. Karina mulai merasakan kantuk di matanya. Ia melihat dhana yang
masih juga asyik melahap buku di depannya. Dhana tersenyum kepada Karin. “
Semua seperti baru kemarin ya rin, tak banyak yang berubah, jembatan ini juga
masih kokoh seperti dulu, saat kita selalu iseng naik kereta menyusuri tiap
kota yang di lewatinya, sepertinya kita saja yang berubah dan semakin tua.”
Dhana berendevous akan keaktifan mereka dulu.
Karina mengiyakan, “ ahh, Na kamu tidak tahu bahwa aku harus sekokoh itu,
batinnya. Mereka berduapun larut dalam mimpinya masing-masing, tidur.
Pukul 16.00 mereka sampai di Stasiun Hall
bandung, yang kini tampak jauh lebih
bersih dan rapi. Hati Karina terhenyak, ia seperti berada di kejadian itu
kembali. Ia tarik nafas panjang membuang beban yang menghimpit batinnya.
“Ayo Na, kita ziarah ke makam orang tuaku dulu
ya.” Ajak Karin setelah berhasil menguasai perasaannya. Dhana bukannya tidak
mengetahui itu, tapi kali ini ia lebih banyak diam, dan membiarkan Karina
melakukan terapi perasaannya, ia hanya menemani, sambil menggali bahan untuk
cerita berikutnya.
Belum begitu sore ketika mereka sampai di
Pemakaman keluarga di Buah batu, kedua sahabat itu sesaat sama-sama terdiam,
teringat bapak dan ibu yang selalu hangat menyambut dhana ketika ikut Karin
pulang tiap akhir bulan. Mereka membersihkan beberapa tanaman liar yang tumbuh
di pusara keluarga itu. Meski doa bisa dari mana saja, ziarah sore itu mereka
lakukan dengan berdoa di makam kedua orang tua Karina.
Meluncur dengan Taxi, mereka melaju ke
Penginapan yang akan mereka tinggali dalam 2 hari ini. Cipaku Garden menjadi
pilihan dhana dan Karina. Letaknya yang menuruni bukit terletak diperumahan
cipaku dengan kolam pancing dan restaurant di belakang hotel, adalah pilihan
yang tepat untuk Karina. Mengenang
kembali Bnadung yang telah ia tinggalkan selama hampir 4 tahun.
Termenung kedua sahabat itu sambil menikmati
hangatnaya tempe mendoan dan secangkir kopi hangat , di iringi gemercik suara
air dari sungai kecil yang memisahkan restaurant dengan kamar hotel. Malam ini
mereka akan mulai menuyusuri bandung, bertanya kepada satu-satunya yang
memegang kunci keberadaan Wira. Ia adalah pangdam Siliwangi .Adat kesopanan
menghalau Karina dan Dhana untuk bertamu kepada penggede militer itu, akhirnya
mereka putuskan kembali esok pagi di Makodam Siliwangi.
Pagi itu rumput – rumput di Gasibu masih basah
oleh hujan semalam, tanahnyapun sedikit becek mengotori sepatu para pejalan kaki yang berolah raga dilapangan
tersebut. Karina dan Dhana melintasi gasibu dan Gedung sate yang tak berubah,
masih seperti yang dulu, kokoh dengan tusuk satenya.
Pangdam Siliwangi sedikit sibuk hari itu,
dengan maraknya peristiwa Bom buku yang dikirimkan kepada beberapa tokoh di Jakarta,
diantaranya Bom buku yang dikirimkan
untuk Ketua JIL(Jaringan Liberal Islam) Ulil Abshar Abdala, di kantornya di KB
68 H, jalan utan kayu nomer 68, jakrta pusat. Bom tersebut gagal di jinakkan
oleh aksi heroik Kasatreskrim Dodi dan mengorbankan nyawanya yang mengharuskan
untuk di amputasi. Bom buku kedua di kirimkan kepada Ketua Pemuda Pancasila
dengan buku berjudul “Masih adakah Pancasila di Negeri ini” dan berhasil di
jinakkan, menyusul BB yang juga di kirim ke Kantor BNN dan kediaman pentolan
bos managemen republik cinta yang juga dedengkot Dewa, yang juga berhasil di
jinakkan.
Rentetan kejadian di Jakarta tersebut memaksa
semua pihak terutama TNI sebagai basis keamanan pertama di negeri ini
meningkatkan kewaspadaannya dengan menggelar razia dan peningkatan keamanan di
mana-pmana. Bahkan jalur puncak menuju Bandung sempat ditutup karena adanya
aksi teror yang menghantui masyarakat tersebut.
Namun Kehadiran Karina Daniswari Atmadja, anak
seorang petinggi yang sempat menjadi pimpinannya mengejutkan naluri militernya,
sesuatu terjadi, sesuatu yang menyangkut kesatuannya, yaitu Wira Suryadiningrat
yang Ia ungsikan.
“Assalamualaikum,” Suara parau itu membuyarkan
lamunan Karina.
“Waalaikumsalam, Pak.” Jawab Karina dengan
suara yang sedikit bergetar menahan rasa ingin tahu yang ia pendam selama
bertahun-tahun.
“Bapak sudah tentu mengetahui maksud kedatangan
saya, seperti yang sudah saya sampaikan melalui surat resmi sebulan yang lalu,
dan bapak mengharuskan saya datang kesini jika ingin mendapatkan jawabannya.
Sekarang saya sudah disini.” Karina tegas berkata-kata.
“Rin, Harimau itu sudah masuk ke dalam
perangkap. Sebentar lagi semua selesai, ketika semua itu tiba, Wira akan
menjemput kalian ke Bayat. Hanya itu yang bisa aku katakan. Semoga itu bisa
menenangkanmu,” kata Pangdam sambil menunjukkan beberapa isi pesan wira.
Karin menghela nafas, ada kelegaan di dalamnya.
Iapun keluar dan melaju ke Rumah yang dulu ia tempati bahagia bersama Wira dan
anak-anakanya. Dhana membiarkan Karin dan hanya berada di sampingnya, menemani
dan menjaganya, sesekali menuliskan
sesuatu ke Ipad yang selalu ol di tangannya, sambil sesekali menepuk dan
menggenggam tangan Karin seolah memberikan semangat kepada sahabatnya itu.
Rumah itu masih seperti dulu, hanya rumput liar
menghiasi halaman yang biasa di gunakan anak-anaknya bermain berlari kesana
kemari sambil mengejat bola atau ayunan. Ada setitik airmata mengalir, Karin segera
menghentikannya dan memutuskan berlalu meninggalkan rumahnya, kembali ke cipaku
garden hotel. Besok ia harus kembali ke Solo, menggunakan lodaya sore. Malam
ini ia harus berkemas dan besok pagi-pagi ia bisa langsung cek out meneruskan
hunting oleh-oleh untuk anak-anaknya.
Bulan bersinar terang, malam ini rupanya malam Supermoon, dimana bulan
beredar terdekat dengan bumi yang hanya terjadi selama 18 tahun sekali. Buat Karin
Purnama yang setiap bulan tidak ada bedanya dengan Supermoon ini, ia masih
tetap berjuang, bertahan,dan tersenyum menghadapi hidup yang harus ia jalani.
Hanya kali ini ada hal yang sedikit berbeda, yaitu ada kepastian tentang
keberadaan Wira, ayah dari anak-anaknya. Ia tatap supermoon dengan senyum penuh
harapan. Iapun menutup jendela kamarnya dan menyisakan gemericik air sungai
kecil di bawah kamarnya untuk menghiasi tidurnya malam ini. Sobatnya sudah
pulas lebih dulu, dengan tetap memeluk ipadnya.
Pagi menjelang, supermoon sudah menghilang
berganti semburat jingga yang begitu indah di ufuk timur, dhana menghirup udara
segar di balkon kamar, aroma cemara tercium tajam menyegarkan, memberikan aromaterapi. Karin
nampak masih lelap dalam tidurnya yang masih berbalut mukena, namun jemarinya
terampil mengikuti putaran tasbih sambil mulutnya melafalkan tasbih. Dhana
tidak berniat mengganggu ia pun melanjutkan berputar mengelilingi hotel
bertelanjang kaki, setelah memastikan semua baik-baik saja.
Pukul 08.00 mereka berdua melaju ke stasiun
hall, tapi mereka sedikit ragu akan dapat lodaya pagi itu, dan benar, lodaya
sudah berangkat sejam yang lalu ketika mereka beranjak dari Cipaku hotel
garden. Terlambatnya keberangkatan mereka karena Karin di hadang diare setelah
menyantap sambal siomay semalam. Akhirnya mereka memutuskan pulang dengan
menggunakan kereta Malabar Ekspres yang akan berangkat dari hall pukul 15.30
WIB.
Menunggu sore tiba,mereka berencana menghabiskan waktu di pasar baru,
yang terletak di seberang stasiun. Setelah menitipkan barang bawaan di loker
mereka berdua bergegas berjalan menuju pasar baru, baru saja mereka
menyeberang, seorang lelaki kekar berjalan di sisi Karina dan ia merasa was-was..
“Assalamualaikum.” Belum sempat berucap, suara
orang di samping mereka membuat Karina tercekat, tak mampu berkata-kata kecuali
berekspresi tak berdaya dengan kekagetan luar biasa. Karin mengenggam erat
tangan dhana, seakan meminta kekuatan dan pertolongan. Merekapun menghentikan
langkah dan memutuskan masuk ke sebuah rumah makan setelah membalas salam
tersebut.
“Kang Wira?” teriak Karin setelah mampu
menguasai perasaan dan kekagetannya. Reuni kecil yang tak terduga, membuat Karin
menemukan hidupnya lagi, hidup yang telah hilang di renggut tugas dan
tanggungjawab. Mereka melanjutkan reuni itu dengan berbelanja di pasar baru,
mencarikan oleh-oleh untuk anak-anak. Dhana larut dalam suasana kegembiraan
itu, berulang kali ia mengusap airmatanya, airmata keharuan dan bahagia. Ia
lebih banyak berjalan di belakang kedua orang yang sedang melepas rasa itu,
sambil mengamati keduanya. Entah apa yang Karin dan Wira bicarakan, dhana tidak
ingin menganggu dan lebih memilih beberapa barang.
Waktu beranjak begitu cepat, Wira harus pergi.
Mereka bertiga kembali ke stasiun hall. Wira pergi dengan parahiyangan pukul
15.00 WIB. Pertemuannya yang sejenak dengan mantan suaminya, meluluhlantakkan
sisi tegar batinnya, rasanya ingin ia berlari mengejarnya, namun langkahnya
terhenti oleh bayangan teriakan “bunda”oleh anak-anaknya.
Peluit berbunyi dengan nyaringnya, air mata Karin
meleleh tanpa henti. Dengan gontai dan sembilu yang menyesak, Karina tinggalkan
rangkaian Parahiyangan menuju Jakarta itu. Ia pun menunggu kereta yang akan
membawanya kembali ke Solo. Entahlah ini awal atau akhir dari semua ketidak
pastian selama ini, semua masih serba mysteri. Dhana yang menunggu di kejauhan
melihat dramatisnya pertemuan dan perpisahan sahabatnya itu. Ia juga merasakan
kesedihan itu.
Dhana membiarkan Karin larut dalam pikirannya.
Tiba-tiba terjadi kehebohan, satu rangkaian kereta api di penuhi Suporter Bola
yang berasal dari Majalengka. Beberapa suporter yang rata-rata masih remaja itu
nekad naik di atas gerbong, dan ketika
kereta melaju, salah seorang jatuh.seorang petugas keamanan berlari memastikan
keadaan korban. Penumpang yang sudah mulai menumpuk tampak wjah-wajah ketakutan
dan penasaran dengan keadaan anak tersebut. Alhamdulillah tidak terluka
terlalau parah, hanya jalannya saja menjadi pincang. Kejadian itu sejenak
membuat Karina melupakan laju parahiyangan yang sudah beberapa waktu
meninggalkannya, dan entah ke Jakarta sebelah mana dan kemana sesudahnya. Ia
hanya akan menunggu di Bayat, seperti yang telah di janjikan Pangdam dan Wira.
No comments:
Post a Comment
Tinggalkan tanggapan, pertanyaan di sini, kami akan segera meresponnya.