A.
SEBAB-SEBAB KEWARISAN
Harta peninggalan orang yang meninggal dunia adalah
tidak serta merta dapat dibagi oleh orang yang hidup, kecuali ada sebab-sebab
yang menghubungkan penerima dengan orang yang mati. Dalam hal ini para ulama telah
menetapkan bahwa sebab-sebab orang medapat warisan ada tiga:
a. Nasab
Atau hubungan
kekerabatan. Nasab ini dapat berupa hubungan orang tua dengan anak,
saudara, paman, dan bibi, dan lainnya, dimana hubugan itu dapat dihubungkan kepada
orang tua. Hal ini berdasarkan firman Allah
“Dan orang-orang yang beriman
sesudahmu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu
termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu
sebagian lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam
kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.
b. Perkawinan (الزواج). Seorang
mendapatkan harta warisan dari orang yang meninggal dunia, karena adanya
hubungan pernikahan atau perkawinan, seperti antara suami dengan istri atau
sebaliknya. Hal ini berdasarkan firman Allah:
وَ
لَكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ
أَزْوَاجُكُمْ...الآية
“Dan bagi kamu seprdua
dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu”
Dalam hubungan perkawinan ini,
suami-istri dapat saling mewarisi dengan ketentun sebagai berikut:
1. Perkawinan. Yang dimaksud dengan perkawinan di sini adalah perkawinan yang sah menurut
agama, yaitu perkawinan yang telah memenuhi syarat dan rukun seperti yang
diatur dalam ajaran Islam, baik sudah dipergauli atau belum pernah dipergauli,
disamping itu, perkawinan itu tidak dianggap fasid (rusak) oleh
Pengadilan Agama, karena perkawinan yang fasid menurut sari’ah adalah perkawinan yang tidak
sah.
Oleh karena itu, bila
salah seorang mati di antara suami- istri maka mereka saling mewarisi. Tidak
termasuk dalam hal ini hubungan yang disebabkan perzinahan, walaupun adanya
hubungan badan antara pezina, mereka tidak dapat saling mewarisi, dan anak yang
dilahirkan akibat perzinahan tidak mendapatkan warisan dari bapaknya, tapi akan
mendapatkan dari ibunya.
2. Perkawinan itu dalam posisi:
Pemberi waris meninggal dalam
keadaan perkawinan masih utuh –tidak dalam perceraian yang ba’in shugra’-.
Dalam posisi ini suami-istri dapat saling mempusakai, yaitu berakhirnya
perkwinan semata mata dengan matinya salah seorang suami-istri.
Artikel Sebelumnya: