ILA ABDULRAHMAN, S.Pt., RIFA, RFC
Dewasa ini prioritas keuangan bukan lagi untuk pemenuhan kebutuhan hidup, namun menjadi pemenuhan yang bersifat keinginan atau “prestise” belaka. Lebih baik “makan prestise” daripada makan nasi, demi kelihatan gaya, stylish, meski kantong megap-megap, meski tidak sedikit yang tetap menjadikan kebutuhan sebagai prioritas, yaitu mereka yang memahami pentingnya hidup sejahtera di masa depan.
Data riset di LIPI menyebutkan bonus demografi indonesia akan mengalami puncaknya di tahun 2035. Bonus demografi secara sederhana dimaknai sebagai penduduk produktif yang menjadi inti penggerak kehidupan ekonomi suatu negara dengan rasio 5 : 1. Kasus Indonesia memperlihatkan bahwa jumlah penduduk usia produktif mencapai 62,7 persen dari keseluruhan jumlah populasi penduduk sebesar 237 juta orang pada tahun 2013-2014. Jumlah penduduk usia produktif tersebut mengalami tren kenaikan sebesar 10 persen setiap tahunnya hingga mencapai puncaknya pada tahun 2035.
Meminjam istilah dari Wasisto Raharjo Jati, Peneliti Pusat Penelitian Politik – LIPI, Bonus demografi melahirkan generasi “kelas menengah ngehek” yaitu kelas menengah Indonesia yang manja, konsumtif, dan juga anti terhadap perubahan. Mereka lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan hidup sekunder daripada primer, mementingkan gaya hidup modern, dan melek terhadap hingar-bingar media dan teknologi.
“Kelas menengah ngehek” secara finansial masuk dalam kategori pertama, makan gaya daripada makan nasi. Ibaratnya makan tidak lagi yang penting “kenyang”kebutuhan makan terpenuhi dan hanya sesekali menjadi keinginan, tapi setiap saat sudah menjadi “makan apa, makan dimana, makan sama siapa” untuk kepentingan publisitas di sosial media. Dampaknya, kadang selain membuat kantong jebol, juga hanya kenyang “like” daripada kenyang perut, serta kebangkrutan yang akan mendera karena mengabaikan prinsip perencanaan keuangan jika tidak segera diantisipasi.
Gaya hidup kelas menengah ngehek yang konsumtif merupakan suatu kelemahan yang perlu dihindari, dicegah dan disalurkan ke dalam-hal-hal yang positif. Bagaimana mengatur keuangan untuk “kelas menengah ngehek”? Yaitu dengan mengarahkan menjadi gaya hidup yang investatif. Beberapa diantaranya adalah, investasi leher ke atas, benda koleksi, benda investasi selain tentunya sebelumnya telah dilakukan pemenuhan prioritas keuangan untuk pemenuhan kebutuhan hidup.
Dewasa ini prioritas keuangan bukan lagi untuk pemenuhan kebutuhan hidup, namun menjadi pemenuhan yang bersifat keinginan atau “prestise” belaka. Lebih baik “makan prestise” daripada makan nasi, demi kelihatan gaya, stylish, meski kantong megap-megap, meski tidak sedikit yang tetap menjadikan kebutuhan sebagai prioritas, yaitu mereka yang memahami pentingnya hidup sejahtera di masa depan.
Data riset di LIPI menyebutkan bonus demografi indonesia akan mengalami puncaknya di tahun 2035. Bonus demografi secara sederhana dimaknai sebagai penduduk produktif yang menjadi inti penggerak kehidupan ekonomi suatu negara dengan rasio 5 : 1. Kasus Indonesia memperlihatkan bahwa jumlah penduduk usia produktif mencapai 62,7 persen dari keseluruhan jumlah populasi penduduk sebesar 237 juta orang pada tahun 2013-2014. Jumlah penduduk usia produktif tersebut mengalami tren kenaikan sebesar 10 persen setiap tahunnya hingga mencapai puncaknya pada tahun 2035.
Meminjam istilah dari Wasisto Raharjo Jati, Peneliti Pusat Penelitian Politik – LIPI, Bonus demografi melahirkan generasi “kelas menengah ngehek” yaitu kelas menengah Indonesia yang manja, konsumtif, dan juga anti terhadap perubahan. Mereka lebih mementingkan pemenuhan kebutuhan hidup sekunder daripada primer, mementingkan gaya hidup modern, dan melek terhadap hingar-bingar media dan teknologi.
“Kelas menengah ngehek” secara finansial masuk dalam kategori pertama, makan gaya daripada makan nasi. Ibaratnya makan tidak lagi yang penting “kenyang”kebutuhan makan terpenuhi dan hanya sesekali menjadi keinginan, tapi setiap saat sudah menjadi “makan apa, makan dimana, makan sama siapa” untuk kepentingan publisitas di sosial media. Dampaknya, kadang selain membuat kantong jebol, juga hanya kenyang “like” daripada kenyang perut, serta kebangkrutan yang akan mendera karena mengabaikan prinsip perencanaan keuangan jika tidak segera diantisipasi.
Gaya hidup kelas menengah ngehek yang konsumtif merupakan suatu kelemahan yang perlu dihindari, dicegah dan disalurkan ke dalam-hal-hal yang positif. Bagaimana mengatur keuangan untuk “kelas menengah ngehek”? Yaitu dengan mengarahkan menjadi gaya hidup yang investatif. Beberapa diantaranya adalah, investasi leher ke atas, benda koleksi, benda investasi selain tentunya sebelumnya telah dilakukan pemenuhan prioritas keuangan untuk pemenuhan kebutuhan hidup.
Investasi Leher Ke Atas
Untuk menjadikan gaya hidup komsumtif dan manja, kelas menengah ngehek harus dermawan. Investasi ilmu untuk diri sendiri, sebagai modal dari gaya ngehek tersebut. Yang utama dan pertama adalah memahami ilmu merencanakan keuangan, agar kebutuhan dan kengehakan sama-sama terpenuhi. Untuk ilmu ini bisa ikut kelas –kelas yang diselenggarakan oleh SHILA FINANCIAL.
Investasi ilmu lain, misal agar foto narsis diri, barang, makanan dan tempat yang dishare bernilai setiap saat, maka perlu investasi dalam bentuk ilmu fotografi, ilmu menulis, baik dalam kelas profesional atau kelas-kelas klasikal yang diadakan oleh komunitas-komunitas sosial media. Atau ikut kelas public speaking, jika pengalaman ngehek tersebut ternyata banyak peminatnya untuk disharing dalam sesi-sesi seminar.
Benda Koleksi
Konsumtiflah terhadap benda-benda yang bernilai atau akan bernilai, misal koleksi mata uang, batu-batuan, seperti berlian, kerajinan khas daerah, kain batik khas daerah, benda-benda khas dari cafe tertentu yang bernilai tukar maupun jual atau benda dari brand tertentu yang sudah punya komuitas pembelinya.
Benda Investasi
Selain Konsumtif terhadap benda koleksi yang (kadang) bernilai investasi, Kelas menengah ngehek juga bisa menyalurkan langsung dengan benda investasi, seperti perhiasan emas, logam mulia, dinar, dirham, dll.
Dan sebelum melakukan 3 hal di atas, sudah seharusnya telah :
- Lunas semua hutang konsumtif.
- Memiliki dana darurat, sesuai dengan pendapatan dan jumlah tanggungan.
- Memiliki asuransi kesehatan dan asuransi jiwa dengan Uang Pertanggungan yang telah sesuai.
- Telah berinvestasi sesuai dengan profil risiko dan tujuan keuangan diantaranya, dana pernikahan untuk yang masih single, dana pendidikan anak, dana pensiun, dana pernikahan anak, perjalanan rohani dan wakaf jariyah untuk yang beragama islam.
Jika keempat hal tersebut belum dimiliki, maka ke-ngehekan itu mungkin hanya akan bertahan sekejap waktu, selanjutnya harus terus bekerja keras, dan mungkin tanpa bisa pensiun sejahtera.
Semoga bermanfaat dan salam finansial !